Tersesat di.. Guci


Oke, ini terjadi waktu aku awal-awal nikah dengan suamiku Gaiss. Ceritanya kan suamiku ingin berkunjung ke Guci, suatu tempat wisata berupa pemandian air panas yang berada di kota Tegal. Suamiku itu dari Jawa Timur, jadi dia penasaran pengin pergi ke Jawa Timur gitu. Nah, berangkatlah kami ke Guci tersebut. Dengan berboncengan motor.
“Kamu liat Guci kan ya..?” tanya suami memastikan, sebelum berangkat ke Guci, sambil tersenyum, karena pernah kejadian kesasar, (nanti kapan-kapan kuceritakan), sambil mengenakan jaket.
“Iya liat...jangan kuatir. Aku beberapa kali kesana kok.” Kataku sambil menunggu suamiku mengenakan jaket. Aku mengenakan celana panjangku, kaos dan jaket kebesaranku yang berwarna merah dan suamiku mengenakan jeans kebesannya untuk melindungi dari hawa dingin dan mengenakan jaket warna hitam untuk melindunginya dari hawa dingin juga.
Dan akhirnya kamipun berangkat. Perjalanan kami sampai daerah Kebanggan, Moga, dan pertigaan Moga, aman-aman saja, tidak ada suatu gangguan apapun. Karena memang setelah pertigaan Moga, langsung ambil kanan saja. Tidak ada pilihan lain. Habis ambil kanan itu, langsung aja lurus terus ke depan.
Nah setelah sampai hutan pinus pun aman, karena aku yakin sekali, setelah 2-3 kali pergi ke Guci aku selalu melewati hutan pinus tersebut. Sebenarnya ketika berjalan terus dan melewati kebun sayur, hatiku mulai bimbang, apakah benar, lewat sini? Tapi aku meyakinkan diriku sendiri, bahwa inilah jalan yang benar. “Kita, kalau mau ke Guci memang harus melewati jalan yang kanan-kirinya kebun sayur.” Kataku ngomong pada diri-sendiri. Selanjutnya melewati belokan yang menanjak, sedikit tanaman bambu di kanan-kirinya, dan banyak pohon di kanan-kiri jalan tersebut, banyak ditumbuhi rumput juga di tepi jalan di kanan-kirinya, sepi dan lengang, tidak banyak kendaraan yang mendahului atau berpapasan. Sama persis seperti perjalananku ke Guci yang sebelum-sebelumnya. Tapi kok sepi ya, Guci kan tempat wisata, harusnya ramai oleh kendaraan, apa mungkin ini bukan hari libur, jadi sepi? Gimana, ini lewat sini atau tidak? Bener tidak jalannya?”  Tanya suamiku lagi, sambil menoleh ke belakang.
“Bener nih bener, aku yakin kok ini jalannya, Ini lho bener-bener lewat jembatan ini...”kataku yakin.
***
Perjalanan semakin jauh, kami terus meneruskan perjalanan. Perjalanan selanjutnya merupakan tanjakkan yang cukup tinggi, masih lengang, hampir tidak berpapasan atau bertemu dengan kendaraan apapun. Tapi aku masih yakin bahwa ke Guci memang lawat jalan ini. ”Benar, benar, inilah jalannya. Ke Guci lewat jalan ini kok.” Kataku bergumam kepada diriku sendiri lagi. Suamiku sepertinya mendengarkannya tapi tidak menghiraukannya.
Perjalanan terus dilanjutkan. Setelah naik dari tanjakan tersebut, jalan semakin sepi dan terus menannjak. Udara semakin dingin, dan aku mulai sedikit ragu, karena ke Guci tidak mungkin makan waktu selama ini. Seharusnya perjalananan dari Randudogkal ke Guci itu memakan waktu hanya dua jam, kalau pakai mobil, sekarang sudah tiga jam, bahkan lebih, pakai motor, kok tidak sampai-sampai.
Kami masih melanjutkan perjalanan. Dan tidak terasa sudah makan waktu sekitar empat jam. Tadi berangkat dari Randudongkal jam tujuh dan sekarang sudah jam sebelas. Kenapa belum sampai juga......? Sumaiku sudah mulai tersenyum-senyum sepertinya dia mengerti, bahwa omonganku tidak dapat dipercaya. Aku..merasa bersalah.
Kami terus melanjutkan perjalanan. Dan akhirnya kami menemukan desa, dimana disitu ada seorang ibu-ibu sendang menggendong anaknya berjalan di tepi jalan, menyusuri jalan tersebut “Coba tanya sama ibu-ibu tersebut...!” kataku sambil menunjuk ibu tersebut. Aku masih duduk di atas motor, sedangkan suami turun dari motor dan mendekati ibu tersebut. ”Oh, masih, masih, jauh...naik terus aja Mas. Kalau mau turun lagi bisa sih, tapi sama jauhnya. Jadi naik saja, naik lagi nanti belok kanan...”sayup-sayup kudengar suara ibu itu menjawab pertanyaan suamiku sambil menunjuk-nunjuk ke arah kanan. Aku semakin ragu, sudah sejauh ini, masih saja jauh katanya.
“Gimana...?”tanyaku.
“Masih jauh katanya, naik lagi nanti belok kanan.”
“Ya kan...masih naik lagi, berarti benar. Guci itu naik kesini..”
Suamiku mulai ragu mendengarkanku, tapi toh akhirnya kami melanjutkan perjalanan.
Kondisi mulai mendung dan hujan, dan sangat dingin, dan berkabut. “Ayo berteduh dulu!” kata suamiku sambil memarkirkan motornya di sebuah tempat yang sepertinya bekas tempat cuci mobil, tapi sudah tidak dipakai, dan digunakan untuk menunumpuk panenan sayur dan membersihkan sayur tersebut. Suamiku mulai kedinginan karena titik air hujan mungkin mulai menembus jaket dan bajunya hingga ke kulitnya. Bersama dengan kami, berteduh pula seorang pedagang yang tampak dari beberapa kardus yang dibungkus plastik dan rak yang ditumpuk dan diikat di belakang motornya dan seorang ibu dan seorang bapak paruh baya yang berboncengan, si ibu mengenakan sweater coklat, jilbab coklat, dan celana panjang hitam dan si bapak mengenakan jaket hitam dan celana hitam. Lalu di sisi lain dari tampat tersebut, ada dua orang pekerja yang sedang membersihkan sayur, satu orang telanjang baju dan mengenakan celana hitam panjang dan satu lagi mengenakan kaos dalam warna putih dan celana panjang, padahal cuaca dingin luar biasa, mungkin sudah biasa.
”Mau kemana mas..” tanya pedagang tersebut. Ibu, bapak, dan dua orang pekerja sayur tersebut ikut menoleh ke arah kami, seperti tertarik dengan percakapan kami. “Guci..!” kata suamiku.
“Oh..guci sudah terlewat jauh mas....hahaha” kata Bapak itu sambil terbahak. “Sampean sudah terlewat sekian puluh kilometer Mas hahaha... Kalau turun lagi sampean masih harus menempuh dua jam lagi untuk sampai ke Guci hahaha...” kata pedagang itu sambil terus tertawa.
Bapak, Ibu, dan pekerja sayur itu ikut mengamati kami sambil tersenyum-senyum dan menggumam tidak jelas, mungkin “Gimana sih, orang kesasar kok bisa sejauh ini...”, mungkin itu yang dikatakan mereka.
“Lha ini, petunjuk arahnya tidak jelas seperti ini..!” kata suamiku sambil menuding-nuding ke arahku, sambil tertawa, yang aku melihatnya sebagai tawa penuh penyesalan karena sudah mempercayai omonganku. Dan akupun hanya tertawa, tersipu-sipu malu
“Hahaha...Seharusnya tadi tuh sampean ada pertigaan besar, belok ke kiri, di situ ada gerbang besar bertuliskan SELAMAT DATANG DI GUCI, tapi pasti sampean lewat saja, dan bla.. bla.. bla...” dan seterusnya orang itu melanjutkan penjelasannya.
Aku sudah tidak bisa mendengarkannya, hanya samar-samar aku mendengarnya, meski jarak orang itu dengan kami hanya beberapa cm, sudah terlalu lelah, lapar, ngantuk dingin, mungkin begitu juga suamiku, lelah, lapar ngantuk, dingin, dan menyesal..menyesal mempercayai guide yang tidak pernah benar menunjukkan jalan.

Dan di sinilah, kami sampai di negeri antah berantah ini. Tidak tahu dimana dan kemana, Sodara

Apakah kami berhenti sampai di situ? Tidak, karena ketika kami balik lagi dan sampai di Guci pun, aku tidak ingat, dimana tepatnya tempat pemandian air panas itu berada. Jadi kami hanya berteduh di bawah gubug reot dengan atap jerami, jalanan yang sepi, dengan hujan teramat besar, dengan sangat kedinginan, dan lapar, dan tidak tau di mana kami.

Hai Gaiss, kalau mau lihat guci itu kaya apa, cek di youtube: https://www.youtube.com/watch?v=R16O0djR5x0&t=312s 


Komentar

Postingan Populer